Rabu, 05 Desember 2012

"Air Surga" Masih Mengalir di Pulau Dewata

Pusing dan merepotkan. 2 kata ini terus berputar di kepala apabila harus mengingat beban tugas akhir semester perkuliahan. Tengat waktu yang diberikan sampai kapan pun terasa kurang untuk menyelesaikan laporan 50 halaman mata kuliah hukum lingkungan. Bahkan sampai sempat terlintas, “apa tugas penelitian lapangan ini copy paste saja” (mahasiswa baik jangan ditiru ya).

Tema laporan sedikit pun tak terpikirkan sampai suatu keadaan memaksa (overmaacht) terjadi di rumah. Betul, air ledeng seharian mati! (ini nyata). Entah kutukan *lebay* apa yang ada, tetapi permasalahan air ngadat ini selalu keluarga kami alami dimana pun kami tinggal (sebelum pindah ke Bali, kami tinggal di Samarinda). Setiap 2 kali seminggu harus beli air galon isi ulang buat minum, terkadang bak mandi juga jarang terisi penuh padahal tagihan air selalu dibayarkan tepat waktu. Namun yang menjadi pemikiran kecil saya bukan masalah komplain atau apa (mungkin karena sudah terbiasa sulit air), tetapi bagaimana nasib orang – orang yang tinggal di gunung sana. Bukan bermaksud untuk mendeskriditkan, tetapi penduduk yang tinggal di kota saja kesulitan air ledeng, apalagi yang tinggal di daerah gunung. Asumsi sederhana itu menuntun saya untuk memeriksa kebenarannya (sebenarnya tetap buat menyelesikan tugas penelitian ini).

Lokasi yang saya datangi adalah Desa Adat Padang Aji yang berada di Kabupaten Karang Asem sebagai daerah yang berjarak dekat dengan Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali. Secara kontur geografis, desa ini berada di ketinggian yang bagi saya adalah hal yang sulit air ledeng dapat mengalir dengan lancar. Daerah perbukitan, medan yang terjal, jalan yang berliku – liku khas daerah pegunungan, sebagai orang awam saya tidak bisa membayangkan bagaimana warga desa ini mendapatkan air untuk kebutuhan hidup sehari – hari, terutama air minum.


- Tapal batas Desa Adat Padang Aji -
Bertemu dengan Bapak I Gusti Made Rai selaku pemuka adat atau yang di Bali disebut dengan “Kelian Adat” adalah hal yang pertama saya lakukan sebelum melihat bagaimana kondisi air di Desa Padang Aji secara riil. Menurut penuturan Kelian Adat, bahwa ternyata di desa ini memiliki sumber mata air bernama Toya Magenda yang dikelola secara adat untuk memenuhi kebutuhan air warga sehari – hari, termasuk untuk kebutuhan minum. Beliau menjelaskan bahwa filosofi Tri Hita Karana menjadi aspek yang harus dipegang teguh dalam pengelolaan sumber air, yaitu Parahyangan (hubungan manusia kepada Tuhan), Palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan), dan Pawongan (hubungan antar sesama manusia). Keberadaan awig – awig masyarakat Desa Padang Aji berperan dalam mewujudkan filosofi tersebut. Sedikit mendefinisikan secara sederhana bahwa awig – awig adalah pedoman dalam berperilaku dan bertingkah laku yang mengandung sifat mengatur dan memaksa demi terciptanya keserasian dan ketentraman masyarakat setempat.[1] Awig – awig ini digunakan sebagai instrumen hukum adat termasuk dalam konteks perlindungan dan pengelolaan sumber air, seperti adanya kewajiban menyelenggarakan ritual keagaman yaitu Upacara Tawur untuk memberikan rasa hormat kepada bhatara yang berstana di sumber air serta menjaga kebersihan air secara niskala (parahyangan), kewajiban untuk bergotong royong membersihkan saluran air (palemahan), serta pengaturan subak sebagai sistem pengelolaan dan pelestarian air tradisional asli Bali yang menekankan prinsip keadilan (pawongan).

- Jalan setapak menuju sumber air -
- Pura yang berada di dekat sumber air -
Tidak lengkap rasanya apabila tidak melihat kondisi di lapangan secara langsung, apakah air bersih memang tersedia di desa ini atau justru serupa dengan apa yang terjadi di perkotaan. Melewati jalan setapak yang cukup jauh dengan dikelilingi hutan bambu bersama Bapak I Gusti Ngurah Bagus Astawa, SH sampai ke tujuan, hati saya dibuat terpesona mengakui bahwa ciptaan Tuhan memanglah Maha Agung. Air jernih yang mengalir deras, pengelolaan pengairan subak yang tertata rapi, anak – anak yang bermain kail pancing ikan di tepi sungai. Hanya kata iri yang dapat mendeskripsikan perasaan negatif saya.

- Disebut sebagai "campuhan"  atau pertemuan 2 aliran air -
Penasaran apakah air disini bisa langsung diminum, saya pun beranjak ke sebuah pancuran bambu dan mencoba meminum air tersebut. Rasa dingin yang mengalir di kerongkongan menyebarkan kesegaran yang tidak pernah saya dapatkan secara alami di kota. Mungkin seperti ini yang namanya air surga di dunia. Seumur – umur saya belum pernah meminum air langsung dari sumbernya tanpa harus dituang lagi lewat ceret (teko).

Terlintas dalam pemikiran saya bagaimana bisa di daerah perbukitan seperti ini bisa mendapat air bersih melimpah. Dikatakan bahwa sumber air tidak lain adalah berasal dari vegetasi tanaman. Memang tampak tumbuhan dan bambu yang tumbuh di desa ini masih sangat asri, namun sayang beberapa kali terlihat warga yang mulai menebang bambu untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari. Suatu saat mungkin desa ini akan sangat membutuhkan sosialisasi dan pemahaman agar kelestarian air selalu terjaga dan kesulitan air minum yang sehat tidak pernah dialami di sini.

- Vegetasi tanaman menjadi sumber air alami -
Masyarakat Desa Padang Aji yang sebagian besar bekerja sebagai petani menjadikan air sebagai bagian dari hidup mereka yang harus dijaga. Pelestarian sumber air yang beranjak dari konsep filosofi agama menjadi pondasi di desa kecil ini dan seharusnya melecut motivasi semua elemen bangsa untuk menjaga sumber – sumber air di negeri yang makmur ini. Berharap untuk merasakan kesegaran air dewata mungkin adalah hal yang tidak mungkin. Namun mimpi mendapatkan kesegaran air minum sehat untuk generasi yang akan datang tetap selalu ada.

- Toya Magenda -
"Jadi siapa yang mau mengerjakan tugas saya sekarang?"

Ditulis oleh : radith (@senyumsegaris)
Ucapan terima kasih : Bpk I Gusti Made Rai (Kelian Adat Desa Padang Aji), Bpk I Gusti Ngurah Bagus Astawa, SH, dan Warga Adat Desa Padang Aji


       [1] AA. Istri Ari Atu Dewi, 2008, “Eksistensi Sanksi Adat Kasepekang dalam Awig – Awig dalam Kaiannya dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman”. Jurnal Ilmiah Kertha Patrika Vol. 34 No.1, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 50.

2 komentar: